Bidak Catur dalam Toko Buku (2)
Surat untuk Pion
mungkin surat ini adalah surat pertama
dan pula yang terakhir bagimu
dalam kabar surat ini, akan kuceriterakan
bagaimana diam-diam kamu merebut detak dalam hatiku
lewat surat ini pula akan kusampaikan perasaanku
tentang suara dan kata yang tak pernah keluar dari bibirku
dan takkan pernah sampai kepadamu
*
tak sadar sampailah aku di tahun kedua,
dimana aku sendirilah yang memupuknya
bunga itu.
bunga yang terlalu indah
sampai menjadi duri untuk diriku sendiri
bunga yang mungkin tak akan pernah aku sentuh
kubiarkan begitu saja adanya
bunga dalam hatiku
hatiku ngilu
tiap aku teringat
sikap kita yang selalu canggung
saat kita bertatap muka
sedikit berbungkuk dan menundukan kepala
aku selalu menyapamu
aku memanggil namamu dengan cara yang canggung pula
aku memberi jarak pada ruang-ruang
tempat aku menyelamatkan diri
setidaknya aku menyukainya
karena dengan begitulah aku berharap kalau aku berbeda
aku senang mendengarkan kamu bercengkrama
dengan suara yang hangat, kamu menegur seorang anak
yang lelah dan berselonjor di lantai kantin
meskipun letih ada dikepalanya
aku pula menyukai nada rendah suaramu
tapi dengan suara yang rendah itu pula
tak pernah sekalipun kamu memanggil namaku
aku patah hati
kecintaanku pada kesunyian
dan tempat aku menyembunyikan diri
perlahan mengantarkan kamu kepadaku
dalam setiap buku yang aku baca
menyimpan baumu dan derap dari kakimu
bagiku buku adalah dermawan yang selalu memberi
dan kamu adalah hadiah kecil darinya
aku memilih tempat yang sama
sejajar dengan lorong yang dipermanis perspektif
juga jendela-jendela besar dengan pantulan cahaya
cerminan refleksi pohon-pohon besar di seberang ruangan
membuat orang ingin bersarang
kadang pula aku merengut
saat tirai-tirai berwarna putih gading diturunkan
menandai hari beranjak siang
aku ingat betul
satu waktu kamu duduk di sebelah kananku
dengan jarak dua bangku
tak sampai lima detik
aku lari terbirit
menghindar secepat yang aku bisa
saat itu juga hatiku bergerak tak karuan
sampai aku tak tahu apa yang aku lakukan
aku membiarkan memori menyimpan kamu
bagaimana dengan hiasan lesung-lesung pipi
kamu tersenyum kecil
juga wajah lembutmu yang membuat orang lupa pulang
mataku terlalu malu
tetapi aku pula berharap kamu membiarkannya
membiarkan aku tumbuh apa adanya
tanpa mengira-ngira
aku pula berharap kamu berpura-pura
itulah hakku untuk menyukai
dan hakmulah untuk disukai
kita tetap bisa berpura-pura wajar
semua puisi pasti punya elegi
terbagi ke seluruh tubuhnya
begitupun luka
aku tetap saja menyimpannya
meskipun kamulah satu-satunya lelaki
yang pernah aku bawa di dalam doa
barangkali aku harus menunggu seribu tahun lagi
atau mungkin juga selamanya
aku tak akan kecewa hanya karena menyukaimu dengan sederhana.