Surat kepada Tiga, Dini Hari, di Hari ke Sembilan Puluh Dua
kata(kata)mu seperti puisi yang setia
berdiam duduk bersimpuh
di sudut kasurku
memeluknya
kata(kata)mu membuat angan melayang sampai ke negeri sebrang
Cappadocia
menikmati Tahuna
dan tikungan jalan Bulukumba
kata(kata)mu seperti lamunanku
dalam ketidakjelasan ricuh hujan yang deras
kata(kata)mu pula sebagai gejolak
dalam frekuensi lirik-lirik lagu yang bersembunyi
di bawah bantal kepalaku
kata(kata)mu menyelinap diam-diam
dalam perantara jalan-jalan tikus yang di lewati kami
hanya karena memotongi jalan mempercepat waktu
kata(kata)mu menjadi bangsat-bangsat kecil
yang bergelantungan di pintu rumah
yang siap menghadang
pula ikut masuk ke dalam tas saat aku beranjak keluar
kata(kata)mu selayak luka
yang melupa
seakan kita melebih-lebihkan
dan besok menjadi gila
kata(kata)mu memaksa orang mengerti
tentang kandungan maknawi
dari rahim ibu-ibu penjual sayur
yang kau tanyai soal untung dan rugi
kata(kata)mu menunjuk ke kanan - ke kiri
sekiranya nanti malam di tunjuknya mukamu
dalam endapan tanah basah
kata(kata)mu seperti cangkir yang penuh
kata(kata)mu adalah bunyi teriak nyaring
dari knalpot-knalpot skuter yang tampaklah kosong
lagi-lagi
kita memang tak pernah terkesan
kata(kata)mu seperti mengulang segala yang diberikan
yang kutuliskan bertahun-tahun suram dalam catatan saku
seperti memakan kacang goreng berbau bawang buatan ibuku
kata(kata)mu katamu
(per)kataanmu
memang hanya kata(mu)
bagi(mu)
kata ini tiga ganjil
tiga dini hari