Surat Kepada Lintang di Hari ke Tiga Puluh Lima



Ibuku pernah bilang, kalau aku ingin tahu soal hidup, maka hiduplah di jalan.
Jalan adalah salah satu cara kontemplasi terbaik yang pernah ada untukku.
Perjalananlah yang memberi tahu aku bahwa tidak semua hal harus di mengerti,
ada hal-hal yang perlu kita terima dan maknai saja.
Aku penasaran dengan bagaimana akhir perjalananku.
Perjalananlah yang memberi tahu, hanya keputus-asa-an yang mengetahui siapa aku,
hanya ketidak-pastian yang berani berjanji padaku,
dan segala ketakutan yang bersedia menemani aku tulus.

Hari itu aku berniat menemuimu,
aku selalu percaya kebetulan, dan selalu tidak percaya kesengajaan.
Aku biarkan kepalaku kosong semenjak aku meninggalkan Kota Imaji.
Kupikir tidak pernah salah menjadi bodoh dan hidup tanpa pertimbangan.
Aku hanya mencoba menyerapi dan menerima,
karena sudah bukan waktunya bagiku untuk terus mempertanyakan.
Bertahun-tahun sudah aku mencari apa yang tak tahu aku cari.
Dan kutemui satu-persatu yang berserakan, itu pula harus kukerahkan tenaga untuk bersabar.

Perjalanan pula yang memberi tahu aku,
apakah aku tulus ataukah aku ramah, dan sebagainya.
Karena di perjalanan tak akan kudapati orang yang benar mengenalku.
Kudapati aku di curigai, karena aku perempuan dan lelaki dalam satu waktu.

Kita sebut saja kotamu Kota Apel, seorang temanku menyimbolkan buah apel sebagai simbol kebahagiaan.
Dalam perjalanan ke kotamu, hujan turun sangat deras,
akhirnya kuputuskan untuk berhenti di persinggahan pertama,
saat itu aku belum mengetahui bahwa ada jas hujan di bagasi motor.
Ada sekitar tujuh orang pria dewasa saat itu yang berteduh bersamaku,
dua di antaranya masih muda.
Kutaksir umurnya mungkin tidak lebih dari sekitar dua puluh lima tahun.
Aku membakar rokok, lalu benar saja, seperti biasa semua melihat ke arahku.
Aku sudah terbiasa dengan intimidasi, karena salah-menyalahi kodrat.
Mata selalu bisa di tebak kemana arah dia akan mengintimidasi.

Setelah hujan agak reda kuputuskan untuk melanjutkan perjalanan,
saat itu mungkin seperempat perjalanan ke kotamu saja belum ada,
tapi aku sudah basah kuyup.
Setengah perjalanan akhirnya hujan berhenti, 
aku sempat senang, karena jalan-jalan di kota kering.
Bajuku yang basah itupun hampir mengering.
Kurasakan perutku dingin, 
dan karenanya aku tersadar kalau aku lupa makan sebelum berangkat.
Kebiasaan yang satu itu memang sulit aku ingat,
setidaknya aku ingat membawa obat yang aku ambil di klinik sekolahku, 
paginya, sebelum sehabis petang aku putuskan untuk berangkat ke kotamu.

Hujan turun lagi ketika aku mulai masuk ke daerah hutan, 
saat itu aku berhenti di persinggahan kedua.
Aku berhenti di ruko-ruko jalan,
entah mengapa aku merasa harus mengecek bagasi motor,
dan benar saja, akhirnya kudapati jas hujan disana.
Kata Ibu, memang susah kalau hidup hanya mengandalkan feeling.
Tapi kadang aku juga tidak sepakat dengan Ibu,
karena feeling yang kuat kadang menyelamatkan aku.

Setelah kudapati jas hujan itu, akhirnya aku melanjutkan perjalananku,
hujan semakin deras malam itu, dan pandanganku semakin kacau.
Aku ingat setiap detailnya, Lintang. 
Bagaimana lampu-lampu merkuri kota seakan tertawa-tawa, 
entah apa yang mereka bicarakan,
lalu bagaimana bau asap dari knalpot truk-truk besar di depan mata.
Brengseknya setelah aku bercermin mukaku mirip tikus tercebur got,
tapi justru itulah kesukaan,
seperti bersolek dengan bedak tebal berwarna hitam pekat dan tidak rata.
Ah aku ini mana pernah berdandan, 
aku tak pernah nyaman dengan sesuatu yang menempel di muka,
tapi lain cerita kalau Ibu yang meminta.
Ada hal-hal yang memang perlu aku negosisasi,
termasuk masalah pandangan soal suatu hal.

Aku terlalu asik rupanya melihat dan menghayali semua yang kulewati,
sampai aku tak sadar kalau jas hujan itu sudah robek di bagian belakang,
dan akhirnya membuat tasku basah. 
Kuputuskan lagi untuk berteduh, kali ini di sebuah bank bahan bakar,
setengah perjalanan, sekitar pukul dua belas dini hari.

Di bank bahan bakar itu ada dua orang penjaga,
dan seorang Bapak yang ikut berteduh pula.
Seperti biasa, mata lagi-lagi mengintimidasi.
Aku tersenyum pada mereka dan membuka obrolan basa-basi kepada Bapak tersebut.
Kami berbincang sekitar satu jam lamanya,
hujan belum juga reda.
Dia bertanya padaku mau pergi kemana, aku menjawab kalau aku ingin ke Kota Apel,
ternyata si Bapak mau pergi ke Kota Buaya Hiu.
Bapak itu banyak bertanya mengenai aku, aku menjawabnya sesantai mungkin,
sebenarnya itu lebih kepada upayaku membangun kenyamanan,
sayangnya itu di bank bahan bakar,
jadi kuurungkan niatku untuk menawarinya sebatang-dua batang rokok.
Perbincanganku dengannya terputus, saat salah seorang penjaga menawari kami beristirahat,
di barat bank bahan bakar itu ada sebuah musala kecil,
tanpa berpikir panjang aku langsung ke musala itu,
tapi si Bapak tidak ikut dan nekat melanjutkan perjalanan sendiri,
aku dan dia berkenalan, namanya Pak Darto,
Sudarto namanya.
Hujan tidak berhenti malah semakin deras, aku kedinginan,
kakiku basah, dan perutku mulai perih,
itu sekitar pukul dua dini hari, 
kuputuskan untuk tidur sampai pagi lalu melanjutkan perjalanan.
Badanku enggan berkompromi,
mungkin karena aku kehujanan,
kukirimkan pesan singkat kepadamu,
tapi kurasa kamu sudah tertidur,
setidaknya pagi nanti kamu membacanya.

Aku terbangun karena orang sudah berlalu-lalang masuk dan beribadah,
aku mulai merasa tidak enak hati sebenarnya,
saat itu subuh, akhirnya kuputuskan mencuci muka lalu melanjutkan perjalanan,
hujan gerimis menemani.

Badanku mengigil, tapi kuat-kuat kugigit gigiku.
Aku berusaha tetap tenang sambil mendengar pendendang hangat. 
Saat itu pukul enam lewat tiga pagi, terasa sangat dingin,
mungkin karena aku masih mengantuk,
dan perutku kelaparan.
Karena dingin yang terlalu akhirnya kuputuskan lagi untuk mampir ke sebuah toko,
aku membeli air dan mie rebus disana, lumayan, itu bisa sedikit mengobati laparku.

Sekitar pukul tujuh lebih dua kulanjutkan perjalanan,
sebenarnya bukan tersasar, tapi ada jalan yang lebih cepat,
namun kulewati jalan itu dengan percuma, 
dan akhirnya memutar melewati gunung.
Sekitaran pukul setengah sembilan aku mulai melewati gunung.
Tahulah aku sekarang, mengapa seorang teman dekat pernah berkata,
bahwa dia akan menghabiskan masa tuanya di kotamu.
mungkin dia berbahagia, bisa jadi.
Aku pula merasa senang, gunung benar-benar tempat yang spesial,
dan pohon pinus selalu membuatku merasa jadi musisi Postrock yang hebat,
persis perasaan saat aku berkunjung ke Kota Kunang-Kunang.
Entah, mungkin naluri monyetku keluar saat aku melihat pohon-pohon.
Pukul sembilan lebih empat puluh empat pagi akhirnya aku sampai di kotamu.

--sela--


Aku sengaja tak menghubungi teman-temanku di Kota itu,
kubiarkan badanku pergi kemana dia suka, 
aku hanya berputar-putar di jalan,
saat mataku mulai berat, kuniatkan mampir di bank bahan bakar lagi,
aku mandi di sana, lumayan, badanku teramat lengket dan berbau khas manusia,
iya bebauan itulah yang selalu membuatku sadar bahwa aku adalah manusia, 
itu pula katanya.
Sehabis menguyuri badanku dengan air segar, aku tertidur disana,
lumayan lama aku tertidur, hari ini aku harus mengalah lagi kepada hujan,
kubiarkan saja dia jatuh sesuka hatinya, 
aku tak meminta kepada tuhan untuk menghentikan hujan,
apalagi aku tahu persis,
kalau aku akan memintanya hanya karena kepentinganku untuk bertemu kamu.

Aku tahu bahwa aku harus bersabar untuk upaya,
kuhubungi teman-temanku di Kota Imaji, 
agar dapat kuperpanjang waktuku,
selain itu badanku sulit sekali diajak berkompromi,
setelah kudapati akhirnya aku perpanjang waktuku sendiri.
Kuurungkan niatku untuk kembali pulang malam itu.
Lagi-lagi harus kuputar otak untuk mencari jalan,
kali ini kuhubungi teman-temanku yang ada di kotamu,
akhirnya tuhan berkehendak,
teman-temanku menghampiri.

Malam itu aku mampir ke sebuah tempat bersama teman-temanku, 
mereka mengadakan pertemuan kecil,
besok waktunya bagi mereka untuk memanen pisang.
Aku hanya duduk-duduk menemani,
sampai salah seorang kawan dari Kota Bisu menghampiri,
dia membawa sebotol besar ciu hangat, 
sebelumnya aku sudah meminum arak buatan lokal dari kotamu,
menarik rasanya agak mirip tape dan manis.
Aku agaknya mabuk malam itu, karena badanku pula sudah mulai soak.
Perjalanan selalu menawarkan hal-hal menarik,
termasuk interaksi manusia,
banyak teman yang berkumpul disana, 
ada yang dari Kota Bisu, Kota Buaya Hiu, sampai kotamu sendiri.

Kami berbincang berbagai hal, terutama seni,
aku tak pernah membawa 'aku' saat aku bertemu orang lain yang tak mengenalku,
tapi mata tidak bohong masalah intimidasi.
Pembicaraan yang panjang, lagi-lagi manusia,
ada yang sepakat, ada yang dominan, ada yang diam,
lalu pulang kerumah membawa hati yang tidak tenang,
dia singgung saat pulang kerumah karena dia tidak sepakat,
itu tidak salah tapi juga aku tidak membenarkan.
Apalagi yang lebih menarik?
Aku hanya mencoba memaknai dari setiap kejadian dalam hidupku,
kalau tidak begitu, rasa-rasanya aku tak akan mendapat apa-apa.
Aku pulang pukul dua lewat tiga belas dini hari.
Sedikit mabuk dan agak mengantuk.

Hari ini tanggal tujuh bulan enam,
waktu sudah menunjukan pukul sepuluh lewat lima puluh tiga,
kukirimkan pesan singkat saja kepadamu.
Dan kita sepakat bertemu di pukul lima hari petang, legipait.
Namanya itu seakan membuat orang ingin mengunjunginya.
Tak begitu sulit menemui tempat itu.
Rumah sederhana, ditutupi rimbunan daun, dengan pintu pagar yang pendek,
aku merasa tempat itu manis kalau di sore hari,
letaknya di perempatan jalan, entah mungkin posisinya tusuk sate atau bagaimana,
yang jelas posisi rumah itu sedikit aneh buatku.

Aku memperhatikan dari jauh, wajar saja karena aku belum pernah sekali bertatap muka.
Aku tampak bodoh saat aku mulai masuk ke rumah itu, 
kamu duduk di bangku kedua dari sebelah kiri, 
mukamu tampak aneh saat melihat aku, 
sudah kupastikan sebelumnya, tapi kutahan teriakan tertawaku.
Sangat wajar melihat orang yang tidak pernah mengenalku melihat dengan tatapan seperti itu.
Kau lebih cantik dari yang aku duga Lintang,
aku agaknya minder dengan kecantikanmu,
melihatmu seperti melihat dua orang lelaki dan perempuan yang terkurung dalam satu badan.
Persis seperti aku yang terjebak di dalam badan.

Ada lima meja dan sepuluh kursi di teras rumah itu, 
bentuknya memanjang dan sedikit membuat was-was.
Tempat ini terbilang ramai, ada banyak orang disana,
tapi kurasa dingin, mungkin karena sehabis hujan,
atau mungkin karena hal lain.
Ada beberapa kotak ventilasi kecil di langit-langit luar rumah itu,
kemungkinan melihat dari warna catnya, tempat itu tidak mengalami banyak perubahan,
miniatur di pajang disana, berjejeran dengan dua kamera analog,
dan dibawahnya ada satu frame foto, aku kurang jelas melihat foto apa itu.
Sepertinya kami lupa bahwa mereka juga subjek,
tapi kebanyakan orang berpikir subjek adalah sesuatu yang sifatnya bernyawa.
Kamera analog itu bicara padaku, bahwa sejujurnya dia akan bernyawa bagi roll film,
begitu juga frame foto itu, foto itu juga kumpulan subjek-subjek hidup yang di bekukan saja.
Ibu dan Bapak penjualnya sangat ramah, membuat orang merasa nyaman,
tapi juga membuat orang merasa menjadi tidak enak hati.

Basa-basi selalu jadi modal utama di pertemuan pertama.
kita berdua kaku,
sepatuku basah, membuat kakiku jadi dingin.
Aku senang bertemu kamu Lintang,
tapi bukan itu tujuanku melakukan perjalanan ini,
kalau kufokuskan tujuanku untuk bertemu kamu,
maka bisa jadi rinduku berbuah lara dan duka.
Kita bertemu atau tidak bertemu bukan masalah buatku,
karena sudah kutemui banyak hal di jalan,
tapi dengan pertemuan denganmu inilah menjadi satu hadiah yang penting.
Entah itu besok atau lusa atau entah kapan,
perjalanan ini akan berarti buatku.
Pasti ada sesuatu yang bisa aku maknai dari semua hal yang terjadi hari-hari itu.

Aku temui banyak orang baru,
kenalan baru, teman baru, suasana baru, 
itulah mengapa aku senang melakukan perjalanan.
Banyak hal yang ingin aku sampaikan walau sudah dari awal kukosongkan kepalaku,
untuk menampung semua ceritamu termasuk pula sikapmu.
Aku datang sebagai teman,
kuanggap kamu teman dekatku, karena sudah banyak hal yang kuceritakan mengenai hidupku,
dan itu tidak kuceritakan kepada temanku yang lain.
Tapi mungkin kamu berkeberatan dengan itu,
karena sepertinya aku bukan teman yang baik, walau kuanggap kamu teman yang baik.
Iya, kadang menjadi baik saja rupanya tidak cukup.

Lagi-lagi yang jadi bantalan manusia adalah haknya.
Seperti kaum humanis yang dicerca karena embel-embel kemanusiaan.
Aku hanya manusia biasa Lintang,
aku bukan nabi yang selalu benar,
aku punya kekurangan, termasuk dalam perbedaan pola pikir kita,
aku mencoba berbasa-basi untuk sekedar membuat lawakan konyol,
yang menurutku sama sekali tidak lucu,
dan benar saja membuat orang merasa aku menjilati ludah sendiri.
Kuputuskan saja untuk diam,
tapi diam juga berarti salah, karena menurutmu aku kurang santai.
Bagaimana orang dapat memahami kalau dari awal sudah memberi jarak pada pemahaman Lintang?

Kamu bertanya mengenai jejaring sosial, yang menurutku kita hanya melakukan pembicaraan berputar.
Persoalan anak remaja yang tidak mempunyai ketetapan hati.
Aku selalu suka bagaimana cara matamu menatap penuh intimidasi namun hangat,
lekukan mata itu.
Dan alis sebelah kananmu yang selalu naik turun bilamana kamu tertarik membicarakan sesuatu.
Disertai senyum simpul yang sulit ditebak apa maknanya,
kamu pula memperlihatkan deretan gigimu, yang kurang rapih, namun tetap terlihat manis, 
sambil sedikit menggelengkan kepalamu ke arah kanan,
itu persis para anjing yang tampak bingung dan penasaran karena bunyi siul-siulan.
Iya, tatapanmu itu, mirip anak anjing perempuan yang sangat manja,
dan butuh kasih sayang.
Setelah kau menghujami dengan berbagai ketidak-setujuanmu soal jejaring sosial itu,
kamu akhiri dengan kata 'iya sih',
atau kemudian kamu beritahu soal puisi yang kamu buat untuk merangkum fenomena.
Iya fenomena sosial dimana orang mengilai teknologi,
yang sebenarnya kamu tahu persis apa yang menimpaku kalau aku tak bersikap pada diri sendiri.
Kudapati hatimu lemah,
wajahku buruk rupa,
lalu kita saling menghujat.

Aku tak fokus, kudengar suara itu, suara yang tak pernah asing di telingaku,
dan membuat orang selalu ingin mencari sumber suaranya.
Kudapati PTS Spesial berwarna merah melewati tempat itu,
kutaksir mungkin di buat tahun seribu sembilan ratus tujuh puluh-an,
ada pula Excel berwarna biru tua, keadaannya sudah tak begitu rapih untuk umur Vespa semuda Excel,
tapi aku ragu apa itu Excel atau PX, karena tak begitu jelas aku melihat.

Aku coba fokuskan kembali pikiranku,
kudapati kamu tenggelamkan badan dalam sweatermu yang berwarna coklat muda,
dan celana dan sepatu yang berwarna coklat pula.
Iya coklat memang warna yang sangat hangat, 
kau biarkan kaos putihmu tenggelam pula disana.
Kamu cantik sekali Lintang,
lehermu putih bersih, mungkin kamu suka mandi.
Ada kalung terpasang dan menghias disana.
Saat berdua saja, kamu goyangkan kakimu,
yang membuatku sadar bahwa pertemuan ini alot,
agak kaku dan membosankan,
lalu usahamu merentangkan kedua tangan, mencari posisi nyaman,
tak juga memberi arti untukmu,
kita berdua bingung,
saling menahan pikiran masing-masing.
Di buatnya aku risau dan mengalihkan semua pandanganku. 
Sedang kamu sibuk menyibak rambut panjangmu ke bahu kananmu,
cara yang tidak lazim dilakukan oleh seorang lelaki berambut gondrong.
Kubayangkan bagaimana cara kamu menyisir rambut panjangmu yang indah itu,
dengan sisir kecil berwarna abu-abu yang kamu taruh di kantung celanamu sebelah kanan.

Reaksimu berubah saat temanmu yang pertama datang,
kamu mengenalkannya kepada aku, kalau tidak salah Abe namanya,
sikap tertarikmu muncul berhamburan,
tapi lagi-lagi mata mengintimidasi,
kamu beritahukan kesukaanmu pada gambar,
dengan memberikan buku sketsamu.
Lalu kamu bertanya soal kesukaanku pada sketsa dan lainnya,
aku tak pernah membawa embel-embel kemanapun aku pergi.
Tapi kujawab sekenanya kalau aku ditanyai,
yang menarik untukku hanya manusianya.
Sedang temanmu, teman kita, sangat tertarik membicarakan desain kuenya,
aku bahkan tidak mengerti dimana letak sebuah karya seni dibicarakan baik atau buruk,
jelek atau bagus, keren atau nggak keren.
Aku mulai membiasakan pola pikir di luar dualisme,
soal pertimbangan dua hal yang bertentangan yang entah menurut siapa?
Aku rasa sudah ada quantum untuk menjawab lompatan-lompatan atom yang tidak dapat dikira-kira,
seorang teman banyak mengajarkan soal itu.
Ada banyak kemungkinan yang muncul di karya seni,
sedang orang bicara soal keteknisan dan selera,
tergantung kita taruh dimana pemahaman dan tujuannya.
Entah, itu pikirku saja.

Hematku saja mungkin, aku tak berusaha memahamimu,
tapi kamu menjelaskan semua agar aku dapat membacanya.
Tatapan matamu berubah redup,
saat temanmu bertanya mengenai Ibumu.
Saat itu aku sadar,
bahwa kita berasal dari tempat yang sama.

Tiga orang perempuan duduk di sebelah kita,
tempat pertama kita duduk,
sebelum akhirnya kita putuskan pindah karena kamu harus mengisi baterai ponselmu.
Seperti pada umumnya,
perempuan bercerita satu-sama lain dengan sangat tertarik,
menceritakan kehidupannya kepada temannya.
Berbagi dan meminta solusi,
di bangku pertama dari pojok sebelah kiri,
ada dua orang dari negara lain bergabung pula bersama kita,
tepatnya tiga orang, sedang kupikir yang satunya lagi pribumi.
Iya kita dikotak-kotakkan memang, dan tak usah saling menyangkal,
urusan pandangan pribadi tidak mempengaruhi stereotipe,
walau dia di pandang selalu negatif.
Aku pahami bahwa sikap skeptis dan konservatif punya negosisasi,
tapi kadang kita lupa.
Ada pula sikap sarkas itu,
tanpa pertimbangan kamu jatuhi terhadap pernyataan yang bahkan belum selesai aku bicarakan.
Tapi kalau kau pikir itu perlu kudapatkan,
biarlah itu kudapatkan.
Beruntunglah aku, karena aku pula bukan orang yang kebal kritik.

Reaksimu berubah lagi ketika temanmu yang kedua datang,
seorang perempuan, aku lupa namanya, karena saat dia menyebutkan nama aku tak berada disana.
gadis cantik dan mengenakan hijab,
kupikir kalian sangat dekat,
karena kalian tampak sangat mesra,
tak pernah kudapati teman perempuanku begitu, karena kami sama-sama perempuan.
Aku lebih sering manja dan dimanja teman-teman lelakiku,
itu pula karena mereka masih berpikir aku perempuan.
Kita sudah mendobrak batas-batas kodrat anima dan animus,
karena satu badan punya dua sisi, ya feminin dan maskulin.
Kenyataannya dipercaya yang membedakan hanya bentuk kelaminnya.

Saat itu ada dua orang lagi temanmu yang datang,
hari itu aku kenyang.
Aku tahu, kamu hanya memperlakukan aku seakan aku ada disana, 
tanpa basa-basi kamu langsung berusaha mengenalkan aku pada temanmu.
ada dan tiada tak pernah jadi masalah bukannya?
Aku kecewa, aku benar-benar tampak bodoh disana,
aku tak tahu pikiranmu sama atau bagaimana,
dan aku hampir menangis saat kamu kirimkan pesan singkat meminta maaf.
Kenapa tidak kamu katakan di depan teman-temanmu?
Dan memberi alasan?
Aku bisa mengerti tanpa di beri tahu atau tanpa di beri alasan.
Tapi sikapku?
Tak semua orang bisa mau memahami Lintang,
dan tidak semua orang mau mencoba mengerti.

Aku hanya manusia,
hatiku juga lemah, 
badanku ringkih,
perasaanku..

--sela--


Kuputuskan untuk pulang saja malam itu,
karena aku tahu, aku hanya ingin kamu tahu,
bahwa aku senang menemuimu, aku hanya ingin menjaga hubungan baik,
karena itu harus kukalahkan egoku untuk mengimbangi pertemanan kita.
Walau tujuanku bukan semata-mata hanya untuk bertemu kamu dan bicara mata ke mata,
justru karena klimaks yang tidak selesai itulah kita akan terus mencari,
akan kita panjangkan dialog-dialog yang belum selesai.
Aku pergi meninggalkan kekecewaan di mata itu,
aku merasa sangat gelisah Lintang,
tak dapat kupungkiri dan menggangguku di sepanjang rentang waktu aku bertemu kamu.

Malam, pukul sepuluh lewat satu,
ku kirimkan pesan singkat untuk pamitan kepadamu,
malam itu cerah sekali, kulewati jalan pulang yang berbeda dari sebelumnya.
Kulewati pula kilometer tiga puluh sembilan,
entah, aku tak mengerti.
Di perjalanan pulang aku di temani Pablo,
dia pelindung kepalaku, kemanapun aku pergi, kubawa dia ikut serta,
lagi-lagi dia bertanya apa aku baik-baik saja?
Karena perjalanan pulang aku sempat menangis,
menangis hanya hal wajar, aku tumpahkan saja semua di jalan-jalan, 
setidaknya hatiku reda.
Sepanjang perjalanan pulang hujan tidak turun,
malam itu cerah,
tapi mataku dalam keadaan basah.
Aku syukuri nikmat perjalanan ini,
perjalanan pulang ini adalah perjalanan yang berat untukku,
setengah perjalanan pertama, kudapati aku melamun,
tak sadar ada bis antar kota di depanku,
aku belokkan laju motorku dan masuk ke bahu jalan,
dalam keadaan motor yang cukup kencang membuat kendaraan ini tidak stabil,
dan menabrak galian tanah.
Beruntung aku tak masuk kedalam galian itu,
kupikir aku akan tampak sangat bodoh karena kesalahan sendiri,
beruntung pula tanah itu basah, bagian depan motor dan tanganku berbaret mungkin karena batu,
ada Bapak-bapak yang membantuku berdiri, dan bertanya apa aku baik-baik saja? 

Kulanjutkan lagi perjalananku,
walau akhirnya kejadian tadi memberi dampak takut di hatiku,
aku coba fokus terus kepada jalan,
sepertinya malam itu dia memusuhiku, sama seperti kamu.
Di setengah perjalanan pula,
kusadari aku di ikuti seorang pria, aku rasa dia sadar bahwa aku perempuan,
sepertinya dia mabuk, sekitar dua sampai tiga kilometer dia mengikuti aku,
sampai sebelum aku masuk ke jalan di tengah hutan,
aku ambil seribu langkah, kukerahkan semua tenaga untuk tetap tenang,
dan pergi tunggang langgang, kukerahkan tenaga mesin-mesin ini,
beruntung malam itu jalan ramai oleh pengendara motor.

Ada tempat dimana daerah itu menjadi sepi,
aku seperti mimpi,
benar-benar aku hanya sendiri.
Jalan itu berkabut tebal,
aku benar-benar takut kali ini,
karena tak kulihat apa yang ada di depanku.
Aku tetap berusaha tenang dan bernyanyi,
aku jalankan laju motor sepelan mungkin, hingga kutemui truk-truk dari arah belakangku.
Lalu kuikuti mereka dari belakang.
Sekitar satu sampai dua kilometer jalan itu berkabut tebal,
begitu pula saat aku melewati jalan di hutan,
entah mengapa perjalanan pulang terasa berat.
Sampai akhirnya kulihat papan jalan menuju arah Kota Imaji,
yang masih tujuh puluh kilometer lagi.
Tapi jarak itu membuat hati sangat tenang,
kupikir aku sudah dekat dengan rumah dan juga Polo.
Aku sampai Kota Imaji, tepat pukul lima kurang dua puluh,
adzan berbunyi nyaring di jalan-jalan.
Akhirnya aku pulang----

Sadarlah aku bahwa kadang manusia lebih butuh di terima,
sadarlah aku bahwa aku tidak sedang bicara cinta sesama jenis,
semoga aku berhenti memandang semua sebelah mata,
dan selalu memakai pemahamanku akan suatu hal,
yang jelas berbeda dengan pemahaman orang lain.
jujur saja, kita berdua sama-sama tidak pernah terkesan.
Walau dunia berjalan lebih kurang seratus tiga puluh perjam.
kita tak pernah terkesan.

Terima kasih untuk semua Lintang,
terima kasih menerima aku, apa adanya,
terima kasih mencoba memahami,
terima kasih bersikap keras,
terima kasih pertemuan dua jam lebih dua puluh empat,
terima kasih memberi tempat baru, dan teman baru,
sampaikan salamku pada Bapak Ibu penjual di rumah itu,
suatu hari aku akan kembali lagi ke sana,
juga sampaikan salam pada temanmu, aku juga suka memasak,
dan desain kuenya itu akan membuat orang bahagia, 
kadang bentuk tidak perlu dipermasalahkan,
karena terkadang bentuk tidak disertai rasa juga membuat orang muak,
persis cinta,
pertimbangkan saja keduanya, itu akan lebih baik.
aku juga suka membaca buku, yang kumulai dari belakang, 
dengan terlebih dahulu membaca sinopsisnya. 
Terima kasih kamu membawa aku pada pandangan baru,
tentang bagaimana cara aku harus menghargai teman.