Kamu Hanya Butuh Kaca Spion



Hujan menutupi pandangan saya,
air langit itu terus jatuh,
sangat deras, 
dan memaksa mata untuk fokus pada dirinya.


Kamu duduk diam disudut merah,
mengerang sakit, saya tahu kamu berontak.
Bukannya tidak nyaman akan diri sendiri?
Saya baca sikap, tapi saya tidak pernah suka mengira- ngira.


Hujan memaksa saya untuk tetap diam ditempat,
dan dada tetap ingin pecah.
Sikap pura pura wajar yang selalu dimainkan lakon manusia normal,
dan senyum pahit sangat kaku, saya amati ada pada sudut merah.


           Lelaki bodoh dan berkumis tipis,
           suka ya suka, begitu saja besar kepala.
           Apa yang bisa kamu banggakan dari menjadi sombong?
           Benci ya benci, begitu saja sudah lupa.


Seperti majas hiperbola,
sikap wajar saya, kamu artikan berlebihan.
Kenapa hobbi sekali menipu diri sendiri?
Sikap wajar saya, kamu pikirkan sampai tidur.


Baik kalau berontak,
tapi orang seperti kamu, tidak mungkin jadi seniman,
jangankan untuk menghargai karya seni,
menghargai orang lain saja kamu tidak bisa.


            Saya sarankan jadilah pejabat, 
            karena cocok dengan kepribadian kamu.
            Manusia sombong, dengan embel embel intelektual.




Kehilangan satu dua orang seperti kamu,
justru menguntungkan untuk saya.




Untuk bersikap pura - pura wajar saja kamu tidak bisa,
Kota Imaji, Januari tengah 2012
Paus