Baiklah saya semakin kelam
Baiklah saya semakin kelam
Teman saya bercerita tentang apa yang terjadi,
tentang sebotol anggur dan bunga bakung dini hari tadi,
"Hai kawan!." katanya.
"Hai!." jawab saya lunglai
(saya tetap malas bicara dan berpikir keras).
"Aku punya perumpamaan tentang kamu!." katanya.
(baiklah saya semakin kelam)
"Kamu itu ibarat pulpen, ketika kamu sering dipakai maka kamu akan habis,
sama persis seperti rokokmu itu! bakungmu maupun anggurmu."katanya.
"kamu akan habis seperti mereka!Jadilah seperti air kawan,
dia tidak akan habis walaupun kau diminum dan keluar dengan cara yang kotor,
kau akan keluar terus mengalir sampai dilaut,
dilaut jadi butir hujan, masuk ketanah dan tetap menjadi air!
percayalah kamu tidak akan pernah habis!."
(saya tetap membisu, seperti mengalami pembiusan! Ah, kelam!)
"hidup tidak pernah sekelam ini kawan!." jawab saya membuka mulut.
(dia memeluk saya dan mencium kening saya)
"hidup itu seperti langit, kadang dia sangat cerah, kadang sangat panas, kadang mendung,
dan dia juga bisa menjadi sangat gelap." jawabnya.
"Ah, itu klise kawan! sama seperti kebanyakan tulisan saya yang saya tulis
ketika otak saya kalap! kelam kawan!." bantah saya
"baiklah itu mungkin klise, yang saya ingin beritahu adalah cara kamu menghadapinya
saat langit mendung maka bawalah payung, saat cerah seharusnya nikmati saja, dan
saat gelap pergilah berdialog kepada Tuhan." jawabnya santai
"Tuhan marah kepada saya." jawab saya
"Tuhan tetap mencintai kamu dalam keadaan apapun, hanya Tuhan yang pernah mencintai
dengan tulus, seperti katamu Tuhan tetap Tuhan yang mempunyai pola pikir berbeda
dengan kita, Dia sungguh unik!." balasnya
(saya tetap tidak bisa berpikir keras, seperti didalam kapal)
"Adakalanya kita kelam dan ternyata kita cuma bisa lari! lari!
tapi yang saya tahu waktu tetap bisa menyembuhkan luka walaupun untuk orang gila seperti kamu!."
katanya santai, lalu pergi
dialog dini hari dengan saya yang lain,
baiklah saya tetap kelam, dan semakin kelam.
Kota Solo bagian pinggir,
21 Agustus 2011
Selfish - Paus
Teman saya bercerita tentang apa yang terjadi,
tentang sebotol anggur dan bunga bakung dini hari tadi,
"Hai kawan!." katanya.
"Hai!." jawab saya lunglai
(saya tetap malas bicara dan berpikir keras).
"Aku punya perumpamaan tentang kamu!." katanya.
(baiklah saya semakin kelam)
"Kamu itu ibarat pulpen, ketika kamu sering dipakai maka kamu akan habis,
sama persis seperti rokokmu itu! bakungmu maupun anggurmu."katanya.
"kamu akan habis seperti mereka!Jadilah seperti air kawan,
dia tidak akan habis walaupun kau diminum dan keluar dengan cara yang kotor,
kau akan keluar terus mengalir sampai dilaut,
dilaut jadi butir hujan, masuk ketanah dan tetap menjadi air!
percayalah kamu tidak akan pernah habis!."
(saya tetap membisu, seperti mengalami pembiusan! Ah, kelam!)
"hidup tidak pernah sekelam ini kawan!." jawab saya membuka mulut.
(dia memeluk saya dan mencium kening saya)
"hidup itu seperti langit, kadang dia sangat cerah, kadang sangat panas, kadang mendung,
dan dia juga bisa menjadi sangat gelap." jawabnya.
"Ah, itu klise kawan! sama seperti kebanyakan tulisan saya yang saya tulis
ketika otak saya kalap! kelam kawan!." bantah saya
"baiklah itu mungkin klise, yang saya ingin beritahu adalah cara kamu menghadapinya
saat langit mendung maka bawalah payung, saat cerah seharusnya nikmati saja, dan
saat gelap pergilah berdialog kepada Tuhan." jawabnya santai
"Tuhan marah kepada saya." jawab saya
"Tuhan tetap mencintai kamu dalam keadaan apapun, hanya Tuhan yang pernah mencintai
dengan tulus, seperti katamu Tuhan tetap Tuhan yang mempunyai pola pikir berbeda
dengan kita, Dia sungguh unik!." balasnya
(saya tetap tidak bisa berpikir keras, seperti didalam kapal)
"Adakalanya kita kelam dan ternyata kita cuma bisa lari! lari!
tapi yang saya tahu waktu tetap bisa menyembuhkan luka walaupun untuk orang gila seperti kamu!."
katanya santai, lalu pergi
dialog dini hari dengan saya yang lain,
baiklah saya tetap kelam, dan semakin kelam.
Kota Solo bagian pinggir,
21 Agustus 2011
Selfish - Paus